Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perjalanan Dramatis Menuju Konsultasi Skripsi

Kronologibayu- (Kamis, 23 Mei 2013). Pagi nan cerah dan udara sejuk telah mengantar saya bangun Pagi. Di pagi ini saya bangun dengan semangat tinggi. Pasalnya di hari ini merupakan salah satu hari terpenting bagi kelangsungan nasib Skripsi saya. Ya..hari ini saya ada janji bertemu dengan Dosen Pembimbing Skripsi.

Persiapan demi persiapan telah saya penuhi, dari mandi hingga menyiapkan buku konsultasi telah saya jalani. Setelah persiapan dirasa cukup maka berangkatlah saya menuju Kampus. Saya berangkat pada saat jarum jam menunjuk jam 9 lebih 10 menit.  

Sepeda Motor 125cc telah stand by siap menemani langkah saya. Kecepatan sedang 60-70 Km/jam adalah kecepatan yang saya geber pada saat itu. Kecepatan ini merupakan kecepatan paling favorit saya pada saat melintas di jalan raya. Kecepatan ini saya ambil bukan tanpa alasan, kondisi padatnya lalu lintas yang kerap memicu terjadinya kecelakaan adalah alasan saya mengambil kecepatan sedang ini.

Perjalanan di hari kamis ini terasa kurang nyaman, pasalnya STNK motor saya entah ada dimana. Sudah saya cari di kamar dan ditempat lain tetap tidak ketemu. Kemudian Saya SMS ayah untuk menanyakan dimana STNK, karena beliau kemarin siang meminjam motor saya.

Sebuah SMS tanya telah saya layangkan, lalu tidak lama kemudian ayah Saya menjawab, “Wis tak serahne awan kae langsung”. Seketika itu saya ingat kalau kemarin siang Ayah langsung menyerahkan STNK kepada Saya. Namun permasalahan sesungguhnya baru muncul, saya lupa dimana menaruh si STNK.

Saya cari lagi namun tidak ketemu juga. Saya putuskan pergi ke kampus tanpa membawa Surat Tanda Nomor Kendaraan. Keputusan ini saya ambil karena takut kesiangan akibat terlalu lama mencari keberadaan STNK.

Gara-gara tidak membawa STNK, pikiran yang tidak-tidak pun terus berkecamuk dalam pikiran saya.

“Engko yen ketemu Polisi pye? Enko mesti ditilang, yen ditilang we rapopo lha yen motorku diangkut goro-goro ra ono STNK, dikirone udu pitku, urong yen aku dikiro maling goro-goro ra iso nduduhne surat-surat lengkap”.

Pertanyaan demi pertanyaan tersebut terus menghantui setiap langkah saya. Jujur, saya tidak terbiasa berkendara jauh tanpa membawa Surat-surat lengkap. Berkendara jauh tanpa surat-surat lengkap memang sangat beresiko.

Berkendara tanpa STNK merupakan kejadian tidak manis pertama di hari kamis ini. Kejadian demi kejadian yang kurang manis di hari ini datang bertubi-tubi. Kejadian kurang manis kedua bersiap datang menghampiri. Kejadian ini terjadi ketika saya berhenti di lampu merah.

Entah ada angin apa tiba-tiba dari arah belakang datang seorang pengendara motor 150cc dengan kecepatan tinggi hampir menerjang saya dan seorang ibu-ibu yang berada di samping saya.

Padahal kami telah berhenti di lampu merah lebih dari 10 detik. Masa’ si pengendara maut tidak melihat kami yang berhenti di depannya.?? padahal Lampu merah berada di jalan yang lurus dengan sudut pandang yang cukup jelas. Sebenarnya apa yang mendorong pengendara maut seenaknya ngebut, tanpa melihat orang yang berhenti di depannya??.

Ulah keterlaluan si pengendara maut membuat saya jengkel. Secara spontan, Saya mengeluarkan kata makian dengan suara lantang kepada pengendara tadi. Si pembonceng pengendara ugal-ugalan sempat melihat saya dengan ekspresi senyum bersalah (pringas-pringis dalam istilah Jawa). Sedangkan si Pengendara yang menjadi joki tidak berani melihat ke arah saya, entah dia tidak dengar suara saya atau dia benar-benar takut karena merasa bersalah.

Untunglah si pengendara dan si pembonceng tadi memiliki perasaan bersalah atas kejadian yang dia lakukan, sehingga dengan demikian tidak sampai terjadi adu fisik diantara kami.

Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi, jika pengendara benar-benar menabrak diri saya. Beruntung si pengendara Maut dapat mengendalikan laju sepeda motornya. 

Saya terus melanjutkan perjalanan dengan perasaan deg-degan. Perasaan Deg-degan timbul karena keselamatan jiwa saya yang hampir terampas oleh ulah si Pengendara ugal-ugalan. Perasaan deg-degan dan jengkel bercampur menjadi satu mengiringi langkah menuju kampus.

Kejadian kedua ini semakin menambah hilangnya mood saya. Saya terus mensiagakan Kecepatan sedang untuk mengarungi langkah kali ini.

Saya sangat berhati-hati dalam perjalanan kali ini, maklum mood yang kurang enak memaksa ekstra konsentrasi dalam memacu sepeda motor.

pengalaman konsultasi skripsi, Konsultasi Skripsi, Skripsi S1, Skripsi pendidikan sejarah, Universitas Sebelas Maret Surakarta, cerita seru konsultasi skripsi

Ditengah konsentrasi penuh, tiba-tiba tangan kanan saya dikejutkan dengan cairan licin berada di tuas rem.  Cairan ini mengalir begitu deras mengiringi langkah saya menuju kampus. Setelah sampai parkiran kampus, saya mengecek apa yang sebenarnya terjadi.

Ya, benar sekali, ternyata minyak rem bocor. Minyak rem bocor akibat mur di dekat tuas rem longgar. Alhasil tangan dan bagian depan sepeda motor terkena tumpahan minyak.

Minyak rem yang tumpah merupakan kejadian tidak mengenakkan ketiga setelah STNK yang raib dan hampir tertabrak pengendara maut.

Kejadian yang menimpa saya belum usai sampai di sini. Kejadian tidak mengenakkan keempat siap menyambut kedatangan saya di kampus. Kejadian ini berlangsung ketika saya telah menapakkan kaki di depan kantor progam studi (kantor ruang dosen).

Saya tiba di kantor program studi pada pukul 10.00 wib. Dengan wajah berseri-seri sembari menenteng tas kesayangan, saya coba melihat isi ruangan dosen dari luar. Betapa terkejutnya saya mendapati ruangan yang sepi akan kehidupan. Dosen yang saya temukan hanya satu orang, itu pun bukan dosen pembimbing saya.

Saya mencoba untuk bersabar menunggu di kursi panjang depan kantor dosen. Tidak lama berselang, dosen yang seorang diri tadi keluar meninggalkan ruangan. Dosen yang keluar ini merupakan Guru Besar sekaligus Dosen senior di program studi kami. Beliau merupakan dosen yang memiliki integritas tinggi dan terkenal dengan bacaannya yang kuat.

Beliau menyapa saya sembari mengunci pintu ruangan.
Dosen: Mas goleki sopo? Dosene raenek kabeh!. (dengan raut kecewa akibat tidak adanya ketua dosen dan dosen-dosen lain)
Saya: madosi Bu ..…. Kaliyan Pak ….. (kedua dosen ini merupakan dosen pembimbing skripsi saya).

Dengan raut kecewa Sang Guru Besar meninggalkan ruangan untuk menuju Gedung Pasca Sarjana tempat beliau juga mengajar disana. Kepergian Guru Besar ini semakin menegaskan bahwa ruangan benar-benar kosong tiada seorang dosen satu pun.

Ketiadaan dosen di ruangan program studi menjadi kejadian keempat yang kurang mengenakkan sekaligus menjadi klimaks dari rangkaian peristiwa yang tercipta sebelumnya.

Saya sudah naik kendaraan tanpa membawa STNK, hampir ditabrak pengendara maut dan belum lagi tangan kena minyak rem. Setelah sampai di kampus dosen pada tidak ada. “Elaek” mungkin itu adalah kata dalam bahasa Jawa yang tepat menggambarkan keadaan saya kala itu.

Pertanyaan demi pertanyaan bernada kalut terus berkecamuk dalam otak saya. “ Lha terus neng kene ki aku ngopo?”. Itu lah pertanyaan yang keluar dari benak diri saya. Saya coba bertahan seorang diri di depan kantor prodi.

Saya terus menunggu karena ada janji dengan dosen pembimbing. Saya percaya terhadap Bu Dosen pembimbing, beliau merupakan dosen yang memiliki integritas, jadi tidak mungkin beliau akan melupakan kesepakatan yang telah terjalin diantara kami. Kesepakatan tersebut merupakan kesepakatan penentuan hari untuk konsultasi skripsi.

Saya menunggu ruangan yang kosong hampir satu jam tanpa ada seorang pun disamping saya. Menunggu lama seorang diri tanpa ada kepastian merupakan aktivitas yang kurang saya minati. Hal ini bagaikan Pria single yang nasibnya terkatung-katung tidak jelas akibat menunggu terlalu lama jawaban dari sang pujaan hati. Asyik.

Tak berapa lama kemudian, kehampaan dan kesunyian yang saya alami sedikit pecah ketika beberapa mahasiswa adik tingkat hadir ditengah-tengah saya. Interaksi bagaikan adik kakak pun tidak dapat terelakan lagi.

Kami saling menyapa dengan cukup intens. Adik tingkat tersebut hendak mencari Dosen pembimbing micro teaching. Saya pun mengatakan bahwa tidak ada dosen sama sekali.  Pembimbing Micro Teaching tersebut adalah dosen pengajar sekaligus ketua dosen di program studi kami. Parahnya lagi dosen micro teaching tidak hadir mengajar tanpa ada konfirmasi terlebih dahulu kepada adik tingkat.

Saya bertanya kepada adik tingkat apakah Bu dosen pembimbing saya ada di kampus. Adik tingkat mengatakan bahwa dia melihat dosen yang saya maksud. Mendengar jawaban itu hati saya merasa lega, bagaikan musafir yang mendapat oase ditengah kegersangan gurun pasir.  Syukurlah paling tidak Bu Dosen Pembimbing Skripsi telah ada di kampus, mungkin ada urusan lain sehingga belum sempat ke kantor dosen.

Percakapan yang hanya sebentar ini sedikit mengobati kesepian sang mahasiswa senior .. Namun keadaan menjadi sunyi lagi ketika adik tingkat berpamitan meninggalkan saya.

Saya kembali bergulat dengan jangkrik-jangkrik kecil, rumput liar dan sarang laba-laba penghias kesunyian. Saya merasa terasing di tengah lalu lalang mahasiswa program studi lain yang melintas di depan saya.

Ada mahasiswa tampan bak peragawan berparas elegan hingga mahasiswi cabi berkawat gigi melintas di depan saya.  Dari semua yang lewat tidak ada yang mengenal saya. “Elaek” mungkin itu adalah kata dalam bahasa Jawa yang tepat menggambarkan keadaan saya saat itu.

Di tengah keterasingan saya, akhirnya Malaikat pengusir jenuh yang saya harapkan pun hadir. Dia membawa setumpuk kertas berisi informations. Malaikat pengusir jenuh yang saya maksud adalah penjual Koran keliling di kampus saya. Membaca Koran merupakan beberapa trik yang saya lakukan untuk mengusir jenuh kala berada di kampus.

Saya memanggil tukang Koran untuk membeli bacaan yang pas. Lagi,  bukannya jenuh yang terobati melainkan BeTe yang saya dapati. Betapa tidak jenuh+Bete, lha wong dari Media Indonesia, Kompas hinga Koran Lokal semua berita utamanya berisi Luthfi Hasan dan rekannya playboy kelas wahid yaitu Fathanah. Koran yang saya harapkan dapat memecah kekalutan justru menambah hilangnya mood saya.

Berhubung saya sudah memanggil tukang Koran dan memegangi Koran-Koran dagangannya, terpaksa saya harus membelinya. Saya memilih Koran Lokal seharga Rp.3000 untuk menikmati kesendirian ini. Berita utama hanya saya pandang judulnya saja, pasti isinya tentang itu-itu saja, tentang Sapi dan wanita-wanita ala fathanah. Saya membaca berita selain berita utama.

Disaat asyiknya membaca berita datanglah adik tingkat seorang diri menghampiri saya. Percakapan antara kami berdua pun tidak teralakan lagi. Dia juga hendak mencari Dosen pembimbing Skripsinya . Saya pun mengatakan tidak ada dosen satu pun di dalam ruangan. Percakapan demi percakapan terus berlanjut. Percakapan kali ini berbicara tentang skripsi diantara kami berdua.

Saya tidak merasa sendiri lagi setelah mendapat teman ngobrol.  Ditengah asyiknya obrolan antara kakak dan adik tingkat ini, mata saya perlahan berbinar-binar. Saya melihat seorang Dosen menenteng tas menuju kami. Ya beliau adalah dosen pembimbing saya.

Beliau menyapa saya, “Tunggu disitu sebentar ya Mas”. Saya memahami benar maksud perkataan serta ekspresi dari Bu Dosen. Beliau nampak lelah, maklum beliau harus naik turun 3 lantai antara ruangan dosen dengan ruangan kuliah. Saya menuruti perintah Bu dosen sembari duduk di kursi tunggu depan kantor.

Disaat duduk di kursi tunggu memenuhi perintah Dosen pembimbing,  tampak dari kejauhan Sang Guru Besar tadi datang lagi hendak menuju ruangan Dosen. Ketika tepat berada di depan saya, Beliau bertanya kepada saya, “Wis enek dosene?”,
“Sampun Pak, enten Bu ..…” jawab saya.

Pertanyaan yang terlontar oleh Sang Guru Besar bertujuan untuk memastikan apakah sudah ada dosen yang hadir. Maklum beliau pernah menjabat ketua dosen di program studi.  Naluri pemimpin nampaknya masih ada dalam diri Beliau.

Setelah sekitar 15 menit berselang, akhirnya Bu Dosen memanggil saya untuk masuk ruangan. Kemudian Saya mulai melakukan konsultasi skripsi. Tanya Jawab antara Pembimbing dan mahasiswa terjadi cukup intens di ruangan dosen tersebut. Setelah diskusi konsultasi berakhir, saya coba menanyakan kenapa Pak Dosen pembimbing 1 saya tidak hadir. Bu Dosen mengatakan bahwa Pak Dosen sedang sibuk mempersiapkan uji kelayakan mutu dosen. Sedangkan dosen lain juga memiliki kesibukan masing-masing.

Kesibukan demi kesibukan dosen membuat  kantor dosen kosong, hanya ada 2 (dua) dosen meskipun waktu telah menunjuk pukul 11 siang.   -- Selesai--

Saya sangat bersyukur telah dihadapkan dengan kejadian-kejadian seperti di atas. Mungkin ini adalah cara Tuhan memuliakan hambanya untuk menjadi pribadi yang lebih tangguh.

Beberapa point penting yang dapat dipetik dari kejadian diatas adalah
1)    Tempatkan barang penting anda pada tempat khusus yang mudah dijangkau.
2)    Hati-hati dalam berkendara, tidak diperbolehkan ugal-ugalan saat berkendara.
3)    Cek selalu kondisi sepeda motor sebelum digunakkan.
4)    Tolong dibuatkan papan konfirmasi yang memuat informasi tentang keberadaan dosen. Mungkin hal ini dapat membantu Mahasiswa untuk mengetahui alasan Dosen tidak ada di ruangan (Mungkin sedang mengajar, Ijin kesibukan penting lain atau sedang sakit).

~ Sekian~