Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ora Sumbut Karo Anyak’ane

Kronologibayu- Ora sumbut karo anyak’ane itulah kata dalam bahasa jawa yang tepat untuk menjadi judul dalam cerita kali ini. Ora sumbut karo anyak’ane artinya adalah Tidak sepadan/selaras dengan permulaannya. Penggunaan kata Ora Sumbut dalam bahasa jawa lebih mengacu pada sesuatu hal yang tidak sebagaimana mestinya atau adanya suatu ketimpangan dari hal satu dengan hal lain. Ketimpangan itu terjadi antara hal yang besar dengan hal kecil. Misalnya :
  • Cah lanang kae sumbar eram, tapi gelut wae kalahan. Ora sumbut karo sumbare (Pemuda itu sumbar sekali, tapi berantem saja dia kalah. Tidak sepadan dengan sesumbarnya).
  • Wong kok kemaki eram, wayah ditakoni we blekak-blekuk. Ora sumbut karo kemakine (Orang kok sombong sekali, tiba waktu ditanya saja Blekak-blekuk (gagap, tidak bisa menjawab). Tidak sepadan dengan sombongnya) .
Penggunaan kata Ora Sumbut bisa diartikan juga untuk penggambaran suatu keadaan yang berakhir dengan anti klimak. misal
  • Edan tenan!!, nguruse berkas-berkas wisuda iki ribet eram, wayah numpuk bendel II tibak’e yo gur ngono. Ora Sumbut karo ribete (gila bener, mengurus berkas-berkas wisuda ini ribet sekali, tiba giliran mengumpulkan bendel II ternyata cuma seperti itu. Tidak sepadan dengan keribetannya).
  • Tiwas aku numpak pit motor ngebut, tibak’e acarane rung dianyak’i. Ora sumbut karo ngebutku (Percuma aku naik sepeda motor ngebut, ternyata acaranya belum di mulai. Tidak sepadan dengan ngebut saya). Demikian sedikit penjelasan mengenai arti penggunaan kata Ora Sumbut dalam bahasa jawa. 

Melalui judul Ora Sumbut karo anyak’ane, saya ingin bercerita mengenai betapa serunya proses pendaftaran wisuda yang diawali dengan proses yang cukup ribet hingga menyebabkan encok, pegel dan linu, namun ketika proses akhir yaitu pengumpulan berkas pendaftaran wisuda terjadi hanya biasa-biasa saja. Ya, boleh di bilang anti klimaks.

Proses pendaftaran wisuda yang anti klimaks menimpa saya ini, saya perumpamakan seperti halnya menyalakan Petasan besar dengan diameter 30 cm panjang 50 cm, sumbunya panjang 1 meter, namun ketika kita nyalakan bunyinya hanya “ mak Plik ”... bukan “DUWwOOR” yang menggelegar. Hal semacam inilah yang tepat menggambarkan kejadian pendaftaran wisuda yang saya alami. Ribet di awal dan biasa-biasa saja di akhir. Ora Sumbut karo Anyak’ane.!!

Baik,... Supaya lebih utuh memahami pokok cerita yaitu Proses pendaftaran wisuda, akan saya awali kisah kali ini dari proses ujian dan revisi skripsi. Bekicot! Eh, Cek It Out

Ujian Skripsi

Dimulai dari proses repotnya persiapan ujian skripsi. Pada saat itu Senin, 29 Juli 2013 tepat pada bulan puasa, saya melangsungkan ujian skripsi. Namun sebelum itu, atau tepatnya di hari-hari sebelumnya, betapa repotnya persiapan menuju ujian tersebut. Dari persiapan syarat-syarat ujian, perijinan, memperbanyak naskah ujian dan hal-hal tak terduga lain menyelimuti langkah saya kala itu.

Dari ribetnya persiapan tersebut terdapat satu hal non akademis yang tidak ada aturan resminya namun sangat memecah konsentrasi bagi mahasiswa, hal tersebut yaitu pemberian bingkisan kepada penguji skripsi (semacam bingkisan).

Bingkisan ini menjadi sisi lain proses ujian skripsi yang menambah kerepotan tersendiri pada saat akan ujian skripsi. Pemberian Bingkisan ini juga menimbulkan perdebatan hebat di kalangan Mahasiswa. Entah kapan dan siapa yang memulai tradisi semacam ini.

Dan hebatnya lagi hal ini sudah turun-temurun mengakar hebat di kalangan akademisi di fakultas saya. Mau gimana lagi, jika tidak memberi tidak enak sama dosen, maklum hal ini sudah menjadi kebiasaan.

Persiapan mencari bingkisan bagi dosen ini dinilai oleh banyak mahasiswa sangat mengganggu fokus dalam persiapan ujian skripsi. Berkat keluhan dan komplain dari beberapa mahasiswa, akhirnya melalui surat edaran Kepala Jurusan per 1 Agustus 2013 menginstrusikan bahwa bagi mahasiswa yang akan melaksanakan ujian skripsi hanya diperintahkan untuk menyiapkan snack dan air mineral untuk dosen penguji dan nominal per-snack kurang lebih hanya Rp.10.000.

Saya rasa kebijakan ini sudah tepat jika dibanding dengan kejadian-kejadian sebelum keluarnya kebijakan ini. Bahkan ada kata-kata guyonan muncul sebelum peraturan tersebut terbit, guyonan tersebut keluar dari salah satu teman saya pada saat melihat mahasiswa lain sedang menggelar ujian skripsi, teman saya mengatakan,

 “Yo ngono kui sing marai wedi ujian skripsi”
(ya seperti itu yang membuat takut dengan ujian skripsi) sambil menunjuk bingkisan teman lain yang sangat mewah untuk dosen penguji.

Bukan situasi saat diuji di ruangan ujian skripsi, namun mahalnya bingkisan-lah yang membuat takut saya dan teman lain yang sama-sama berkantong pas-pasan .

Ada yang habis Rp.300.000, 400.000. 500.000 dan ada juga yang hampir Rp.1000.000 hanya untuk hal non akademis semacam itu. Bagi mereka yang mampu mungkin tidak menjadi suatu apa, namun bagi kami yang pas-pasan hal tersebut sangat memberatkan.

Meskipun saya masih kena adat-istiadat bingkisan, namun saya merasa bahagia karena setidaknya budaya tersebut telah tiada dan adik-adik tingkat di bawah saya sudah tidak mengalami hal serupa.

Kembali ke pokok cerita>>
Akhirnya melalui proses yang sangat menyita tenaga, biaya dan pikiran ini, ujian yang saya jalani telah selesai. Ya setidaknya bisa sedikit menghela napas sejenak karena setelah itu mendapat liburan beberapa hari yaitu libur hari besar dan lebaran. Hari libur yang hanya sekitar satu minggu ini saya manfaatkan benar untuk refresh otak sejenak sebelum kembali berkutat dengan revisi-revisi skripsi.

Revisi Skripsi

Liburan telah usai saatnya kembali ke aktivitas perkuliahan. Senyum simpul Revisi Skripsi telah menunggu saya untuk diajukan kepada dosen penguji. Sebenarnya Revisi Skripsi hanyalah proses untuk membenarkan beberapa kesalahan hasil skripsi yang dinilai masih kurang tepat oleh dosen penguji. Namun yang menjadi permasalah disini adalah proses Revisinya-lah yang terkadang berjalan alot. Kealotan tersebut terkadang disebabkan oleh hal-hal sepele, misal :
  • Saat akan mengajukan revisi dosen tidak ada di kantor tanpa ada keterangan.
  • Revisi skripsi dari salah satu dosen saya yang terkadang membingungkan, hanya ada tanda tanya (?)  dalam lembar skripsi tanpa ada perintah lain/petunjuk yang jelas. Ini sulit dipahami. Beberapa teman yang mendapat dosen satu ini juga merasa bingung apa maksudnya hanya ada tanda tanya tersebut. “Tulisan sing iki kon ngapakne, di hapus?, di guak? opo kon ngganti sing pye?.” .Itulah kebingungan saya dan beberapa teman yang mendapat dosen satu ini.
  • Dosen terkadang tidak konsisten, misal kronologi kejadian yang menimpa saya ini: Pertama, Dosen menyuruh untuk mengganti beberapa tulisan, kalimat atau paragaraf dalam lembar skripsi, Kedua, setelah diajukan kembali, dosen mengatakan tidak seperti ini dan masih menyalahkan revisi kali ini. Padahal tulisan yang saya ganti ini sudah sesuai arahan dia. Ketiga, tulisan yang dinilai kurang tepat tersebut, saya kembalikan seperti sedia kala menjadi tulisan pertama kali . Ajaib, dosen pun akhirnya meng-ACC revisi saya. “Ngerti ngono ngopo ndadak mbok salahne to Pak, yen akhire tibake podo tulisan awal” . (semoga kejadian ini hanya ada di dosen satu itu)
Itulah beberapa hal yang menyebabkan kealotan revisi skripsi yang disertai hal non teknis lain yang menyelimuti proses revisi saya, misal: bolak-balik ke rental nge-Print, foto copy, mencari dan menunggu ketidakpastian hadirnya dosen (untuk meminta tanda tangan), surat-menyurat perijinan, lemah, letih, lesu, loyo, encok, kesemutan dll. [ Seru sekali !!]

Proses Pendaftaran Wisuda

Setelah proses revisi yang cukup seru dengan berbagai bumbu-bumbu pelik yang menyelimutinya. Akhirnya proses pendaftaran wisuda telah menanti saya. Proses pendaftaran wisuda menghendaki persyaratan setidaknya ada dua Bendel berkas yang kesemuanya berjumlah 21 syarat. Dari ke dua puluh satu syarat ini terbagi kedalam surat-surat.

Proses surat menyurat ini berantai. Anda tidak bisa mendapatkan pengesahan surat yang kedua apabila surat yang pertama belum selesai, begitu juga seterusnya. Kemudian dalam setiap surat masih terdapat syarat tambahan lagi, bisa 2 atau 3 syarat tambahan dalam setiap surat.

Dapat disimpulkan proses pendaftaran wisuda di fakultas saya ini birokrasinya cukup panjang dan ribet. Belum lagi jika menemui ganjalan-ganjalan non teknis dalam proses pengesahan surat. Ganjalan non teknis ini akan menambah serunya petualangan anda mendaftarkan wisuda. Adapun ganjalan non teknis tersebut, misal :
  1. Orang / petugas yang dimintai tanda tangan tidak ada di tempat.
  2. Adanya syarat tambahan yang tidak tertera/dijelaskan sebelumnya di alur pendaftaran wisuda.
  3. Lambannya pelayanan.
  4. Encok kambuh karena wara-wiri dari tempat satu ke tempat yang lain,
  5. Lemah, letih, lesu dan emosi akibat terlalu panjangnya birokrasi yang bertele-tele.
  6. Dll.
Bertele-tele dan ribetnya proses pendaftaran wisuda di fakultas saya ini, tidak hanya saya yang merasakan, namun banyak teman yang sedang/telah mengurus pendaftaran wisuda juga mengatakan hal senada. Ada yang mengatakan, mbingungke, bertele-tele, ribet tenan jan.!, suwene rek!. Bahkan tak jarang ada yang tidak kuasa menahan emosi seraya berkata, “kuda, Kambing, Monkey, Dog, Crocodile”. Dll.

Testimoni juga datang dari mereka yang telah lulus / wisuda. Pada suatu kesempatan teman saya yang sudah lulus mengatakan kepada saya, “ndisik pas aku ndaftare yo ribet”. Ternyata bukan saya saja yang bilang kalau birokrasi di Fakultas Ungu ini masih terlalu ribet.

Ribetnya birokrasi pendaftaran wisuda di fakultas yang saya tempati ini sudah bukan rahasia umum lagi. Setidaknya ada sepuluh ruang birokrasi yang harus saya tempuh untuk memastikan seluruh berkas pendaftaran wisuda terpenuhi dengan lengkap.

Di setiap ruang memiliki persyaratan-persyaratan tambahan yang terkadang tidak dijelaskan terperinci di alur pendaftaran wisuda. (Note: Kesepuluh ruang tersebut bukan pelayanan yang terbagung menjadi satu tempat (bukan satu atap/terpadu) ). 

Bisa anda bayangkan betapa wara-wirinya setiap mahasiswa yang hendak mengurus wisuda di Fakultas saya tersebut. Mungkin acara wara-wiri milik komeng dan adul bisa kalah pamor dengan wara-wiri yang kami jalani .

Bagaikan oase ditengah gurun pasir,di tengah ribetnya urusan berkas-berkas wisuda ternyata pihak gedung administrasi menyodorkan secarik kertas kepada saya dan rekan setia saya yaitu Ahmad untuk menulis saran dan kritik.

Pada saat mengumpulkan berkas yang kesekian kalinya, petugas layanan meminta kami menulis kritik dan saran pada selembar kertas yang di sediakan. Ahmad menuliskan kritik yaitu Mohon tanda tangan Pak SAJ.. jangan terlalu lama. Sedangkan saya menulis kritik yang intinya memohon proses surat-menyurat pendaftaran wisuda harap diperingkas agar prosesnya tidak terlalu panjang dan ribet.

Saya berharap jajak pendapat melalui secarik kertas tersebut bukan hanya sebagai penghibur saja namun alangkah baiknya jika keluhan yang tertulis itu benar-benar dibaca oleh petinggi fakultas.

Lanjut ke benang merah cerita>> 
Keseruan yang saya alami ini akhirnya menemui titik terang. Pada hari Kamis 10 Oktober 2013, proses pendaftaran wisuda yang saya jalani sampai pada tahap akhir. Meskipun ini tahap akhir, namun saya masih menempuh tiga ruang birokrasi lagi untuk menggenapi ketujuh ruang sebelumnya hingga menjadi kesepuluh ruang birokrasi. Tiga ruang pada hari ini yaitu dua Bank dan satu ruang administrasi pengumpulan berkas akhir.

Di Bank tersebut saya melakukan pembayaran biaya wisuda. Sebenarnya pembayaran ini bisa dilakukan awal-awal, namun faktor ekonomi yang lagi lesu menyebabkan saya baru bisa membayar pada kesempatan kali ini. Proses pembayaran telah selesai dan kwitansi bukti pembayaran telah saya kantongi. Kwitansi ini merupakan salah satu berkas yang harus disertakan sebagai kelengkapan berkas-berkas pendaftaran wisuda.

Dengan kata lain, wisuda anda akan ditunda pada gelombang berikutnya jika anda belum mampu membayar. Mau gimana lagi, syarat wisuda itu harus bebas dari segala urusan administrasi. Jadi membayar biaya wisuda pada Bank adalah wajib hukumnya sebagai salah satu keabsahan bebas administrasi.

Proses pembayaran di dua Bank yang berbeda akhirnya selesai sudah, setelah itu saya menuju gedung administrasi guna mengumpulkan Bendel 1 yang berisi 15 Surat+surat-surat tambahan+perlengkapan lain (foto diri, fotokopi-fotokopi berkas, dsb).  

“Bar iki nyango gedung pendidikan pusat cedak menwa ngumpulne Bendel II Mas”,  
“Nggih Pak” jawab saya.

Bagai Rindik Asu di gitik saya langsung bergegas ke tempat pengumpulan  Bendel II. Dengan wajah berseri-seri dan sedikit menahan encok di muka karena sedikit lelah berwara-wiri, saya mengayuh langkah menuju gedung Pendidikan Pusat dengan di temani motor kesayangan saya. Motor kesayangan buatan luar negeri ini boleh di kata adalah saksi bisu di setiap perjalanan saya menempuh sepuluh ruang birokrasi yang penuh dengan bumbu lika-liku.

Tepat pukul 10.30 menjelang siang, Saya tiba di kantor pendidikan Pusat. Suasana lengang di tempat tersebut menemani langkah saya menuju meja pengumpulan berkas. Ngeekkk!!! Pintu pun saya buka, suasana tampak lengang terlihat sekitar 8 orang yang ada di dalam ruangan dan diantaranya adalah satu petugas pelayanan pengumpulan Bendel II.

Petugas wanita setengah baya itu pun menyambut saya.
“Ajeng ngumpulne Bendel Kaleh Bu”.( Mau mengumpulkan Bendel II Bu) Rengek saya.
Sampun komplit?”, (Sudah Komplit) petugas bertanya.
“Sampun Bu”. (Sudah Bu) jawab saya. .
“nggih, mpun Mas”.( Ya, sudah Mas)
“Bar niki sampun Bu ?” ( Setelah ini sudah Bu?) tanya saya kembali dan seolah tidak percaya.
“ Nggih Mas Sampun, di tunggu mawon mengke pun masuk portal”. ( Ya Mas sudah, ditunggu saja nanti sudah masuk portal) Jawab petugas.

Dengan perasaan lega dan sedikit tidak percaya, saya meninggalkan tempat tersebut. Kata-kata ketidakpercayaan langsung berkecamuk di sepanjang perjalanan saya meninggalkan tempat tersebut “We gur ngono kui tok, tibak’e” guman dalam hati saya.

[ Proses pendaftaran yang begitu dahsyat ribetnya berakhir anti klimaks dengan jawaban “Sampun mas” ]

Kejadian yang menimpa saya ini bagaikan film barat yang berjudul “MARS ATTACK”. Film yang mengisahkan kondisi bumi yang sedang diserang oleh Alien dengan begitu hebatnya, kondisi bumi telah porak-poranda. Semua orang penduduk bumi berada dalam ketakutan. Jatuh korban dimana-mana. Dapat di katakan bumi telah berada dalam genggaman Alien.

Film yang menguras tenaga dan adrenalin bagi siapa saja yang menonton itu  di akhiri dengan ending yang jauh dari harapan (boleh di kata antiklimaks). Ending film tersebut yaitu Alien yang ada di seluruh bumi mati gara-gara seorang bocah memutar lagu nostalgia di sebuah stasiun radio.  Alien-alien yang ada di dunia mati dengan mudah akibat mendengar lagu tersebut... Ora sumbut karo anyak’ane. !!!

Sama persis dengan pengalaman saya mendaftar wisuda. Proses awal yang ribet non play sangat menguras tenaga, biaya dan pikiran bahkan tak jarang emosi serta encok menyerang, namun ending dari proses pendaftaran tersebut hanya mak pleketis gur ngono tok“Anyak’ane we muter seser, akire yo muk ngono tok”.

Apa yang saya katakan ini juga setali tiga uang dengan teman saya bernama Ahmad. Beliau satu hari lebih awal mengumpulkan berkas bendel II. Tepat tanggal 9 Oktober 2013, ia mengumpulkan berkas bendel II, kemudian disambut petugas,

“ Ini sudah semua Mas”.
“Sudah Bu”, jawab Ahmad.
“O ya, Sudah” jawab petugas.

Saya dan Ahmad kala itu senyum bahagia di luar ruangan tersebut. “Tibak’e gur ngono kui yo Mad, Anti Klimaks, Koyo film alien mati goro-goro ngrungokne lagu nostalgia”. “Isih mending, kui koyo film sing pernah tak tonton, Alien mati goro-goro di grujuk banyu sampo sak tangki”. timpal ahmad.. Hahaha..

Memang tidak sepadan dengan ribetnya. “mBok yo enek penyambutan opo ucapan selamat, opo di kalungi kembang pas rampungan nglumpukne Bendel II ” *aneh-aneh wae Bay.. hehe..
 
Pesan / Hikmah yang dapat di petik dari kisah saya di atas yaitu
  • Perlu pembenahan birokrasi jika ingin menuju world class university.
  • Mahasiswa juga di harapkan bijak dan bersabar, jika perlu lakukan jajak pendapat dengan petinggi kampus agar keluhan, komplain atau pun permasalahan dapat teratasi dengan baik.
Harapan Saya semoga birokrasi di Indonesia, di daerah manapun, di tempat apapun, termasuk di fakultas yang pernah saya singgahi dapat menunjukkan layanan yang lebih baik kedepannya serta tidak bertele-tele lagi. Jika Bisa Dipermudah, Kenapa Harus Dipersulit !

NB: Melalui tulisan yang jauh dari kata sempurna milik saya ini, semoga di dengar oleh para petinggi Fakultas sebagai masukan agar birokrasi yang ada dapat menjadi lebih baik di tahun-tahun yang akan datang. Maju terus UNS !!

  ~ Sekian ~