Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengalaman dikira intel. (Hey,. Aku Bukan Intel)

cerita lucu dikira seorang intel, cerita kali ini mengisahkan seorang pemuda yang di kiranya anggota inteligen kepolisian oleh seorang preman, inteligen, badan intelijen negara, BIN, SMA Negeri 1

Kronologibayu-(Semester V). Dua puluh kilometer adalah jarak yang harus saya tempuh setiap hari untuk pergi ke kampus. Meskipun jarak yang lumayan jauh, namun Saya tidak nge-kos atau ngontrak dalam menjalani masa kuliah atau istilah kerennya adalah di Laju (istilah jawa. Red). Jarak tersebut saya tempuh dengan menunggang sepeda motor kesayangan.

Jarak sejauh mata memandang itu menyimpan cerita tersendiri bagi perjalanan kuliah saya. Dari cerita berpapasan dengan pengendara cantik yang aduhai hingga berpapasan dengan truk pengangkut sampah yang baunya memudarkan akal sehat kerap saya alami.

Hiruk pikuk suasana jalanan menambah seru derap langkah saya, baik itu langkah perjalanan ngampus atau perjalanan pulang ke rumah. Hiruk pikuk suasana jalan yang saya lalui bagaikan komposisi gado-gado. Gado-gado adalah makanan yang terdiri dari berbagai campuran bahan seperti kentang, telur, wortel, kubis, krupuk dan sambal kacang tersaji dalam satu piring. Meskipun campur-campur namun enak untuk disantap, itulah keistimewaan Gado-gado.

Suasana jalan yang saya lalui nampaknya hampir mirip dengan sajian gado-gado ini. Meskipun dipenuhi berbagai pengguna jalan yang bercampur menjadi satu, namun sungguh nikmat untuk dijalani. itulah keistimewaan Perjalanan saya.

Berbicara tentang perjalanan ke kampus yang berjarak 25 km dari rumah. saya memiliki cerita tersendiri akan hal itu. Saya pernah mendapat  senyum manis dari pria sangar. Ini cerita selengkapnya>>

Pada suatu ketika saya ada jadwal kuliah pada jam 11 siang, seperti biasa saya mulai bersiap diri. Bangun pagi, mandi, sarapan dan berdoa adalah akitivitas pakem sebelum berangkat kuliah. Dengan persiapan yang mantap saya pun berangkat. Jaket hitam, celana jeans dan alas kaki hitam serta helm INK telah melekat di tubuh seraya menambah kemantapan perjalanan ini.

Motor kesayangan telah siap menemani perjalanan kali ini. Kendaraan roda dua buatan luar negeri ini sangat tangguh di jalanan. Dari nenek-nenek renta hingga becak roda tiga tak mampu menandingi akselerasi motor saya.

Perjalanan menuju kampus merupakan perjalanan yang sudah biasa bagi saya, maklum  kondisi ini telah saya jalani hampir bertahun-tahun. Jadi posisi jalan mana yang berlubang, tikungan mana yang tajam dan halte mana yang banyak ceweknya sudah hafal di luar kepala . [tenang saya bukan playboy]

Dengan kecepatan sedang sekitar 60-75 km/jam saya mulai menyusuri jalanan. Kecepatan tersebut nampaknya tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan kecepatan Racer Amatir yang menganggap jalan raya bagaikan sirkuit (Racer Amatir, baca: Pengendara ugal-ugalan). Selain Racer Amatir masih banyak lagi karakter pengendara yang saya temui di jalan seperti Pedagang Siomay, Bank Plecit, Murid SMA, hingga Pegawai Negeri Sipil and many more.

Ruas demi ruas jalan saya lewati. Perempatan dan pertigaan saya lalui. Jembatan demi jembatan saya seberangi.  Belum lagi hadirnya  turunan, tikungan dan tanjakkan semakin menambah nikmatnya perjalanan.

Kenikmatan perjalanan telah menghipnotis saya akan penatnya hiruk-pikuk suasana jalan. Tidak terasa roda sepeda motor ini telah melahap ¾ rute perjalanan sebelum benar-benar sampai kampus.

Ditengah asyiknya perjalanan, saya merasa ada sesuatu yang tidak beres pada roda belakang motor saya. Benar sekali, ternyata roda belakang bocor. Beruntung sekitar 25 meter di depan saya ada jasa tambal ban. Kemudian saya turun dan menuntun sepeda motor menuju tempat tambal ban tersebut. 

Bocornya ban belakang sedikit membuat saya risau. Bagaimana tidak risau, lha wong jarak TKP dengan kampus hanya tinggal 1 Km lagi.  Kenapa harus pakai acara bocor segala coba. Padahal kurang sedikit lagi sampai kampus. Kejadian yang saya alami ini sama halnya ketika kita sedang download data di internet, padahal tinggal 1 Kb lagi atau sudah mencapai 99% selesai dan tiba-tiba komputer mati atau donwload failed.

Saya  tetap tenang dan positif thinking dalam menyikapi kejadian bocornya ban motor ini. Mungkin ini adalah cara Tuhan menyayangi dan mengsiyaratkan saya untuk rehat sejenak sembari berbagi rupiah dengan tukang tambal ban pada saat itu.

Puluhan pasang mata penuh tanya mengiringi langkah saya pada saat menuntun sepeda motor. Setelah puluhan langkah saya jalani, akhirnya tiba juga di tempat tambal ban.

Saya menyampaikan keluhan bahwa ban belakang saya Bocor. Selesai menyampaikan keluhan kemudian saya melepas helm sembari duduk di lincak yang berada tepat di samping tukang tambal ban.  (Lincak adalah kursi panjang yang terbuat dari bambu)

Tanpa Ba.. Bi..Bu... Si Tukang tambal Ban mulai memegang-megang dan meraba-raba motor kesayangan saya. Jari-jarinya yang segede pisang itu sangat lihai memutar ban untuk mencari dimana letak kebocoran.

Saya hanya bisa duduk termenung di sebuah lincak sembari mencari tahu apa yang sebenarnya menjadi penyebab kebocoran ban. Ternyata sebuah unsur besi kecil, kalau tidak salah adalah isi dari seteples yang berukuran besar menancap di ban saya, maklum sekitar TKP terdapat beberapa warung jasa fotocopy. Mungkin saja ketidaktelitian pemilik menyebabkan isi seteples bercecer ke jalan raya.

Saya hanya bisa kembali duduk terpaku disebuah lincak sembari melihat aksi si tukang memperbaiki ban motor. Suasana hiruk-pikuk jalan raya dan bisingnya kendaraan membuat saya semakin gelisah. Rasa bete dan mati gaya perlahan menghinggapi kesendirian ini. Ditengah kegelisahan dan kesendirian yang saya alami tiba-tiba munculah Pria membawa tumpukan kertas berita,. Siapa dia?? Anda penasaran,?? Ya. Dia adalah Tukang Koran.

Akhirnya saya beli koran untuk memecah suasana bete dan mati gaya pada saat itu. Koran lokal setempat saya pilih untuk menemani kesendirian saya. Sedikit demi sedikit kegelisahan saya mulai pudar setelah hadirnya koran ini. Lembar demi lembar saya buka, huruf demi huruf saya baca. Kata demi kata saya cerna. Puji Syukur, suasana pun sedikit berwarna berkat hadirnya bacaan ini.

Ditengah asyiknya membaca koran tiba-tiba melintaslah pria kekar bertampang sangar dengan memakai topi. Saya perkirakan dia adalah preman setempat. Sebelum melintas di depan saya, Saya pun sempat berspekulasi dalam hati, jangan-jangan dia mau memalak saya. 

Seribu reaksi cepat sudah saya persiapkan untuk menangkal jika benar-benar dia akan memalak saya. Dari teriak minta tolong hingga langkah seribu sudah saya siapkan matang-matang .

Saat yang saya tunggu pun tiba, melintaslah si Preman dari arah kanan saya. Dengan memasang mata awas saya melirik setiap langkah sang Preman. Mata awas yang saya siagakan bukan bermaksud over suudzon melainkan suatu tindakan preventif jika benar-benar dia mau berbuat jahat kepada saya.

[Hal diluar dugaan dan diluar kekahawatiran saya pun terjadi.!!]

Alih-alih memalak atau memasang muka garang di depan saya, ternyata preman tersebut justru memasang muka manis disertai  anggukan kepala kepada saya. Dia pun menyapa saya, “ Mas”. Dengan sedikit terkejut Saya pun menjawab, “Nggih”.

Preman yang identik dengan sikap acuh terhadap orang lain, ternyata tidak berlaku pada pria sangar yang satu ini. Dia sangat sopan kala melintas di depan saya.


Kejadian yang saya alami ini menimbulkan pertanyaan yang berkecamuk dalam benak saya. Apakah tampang saya lebih sangar daripada preman? Ataukah preman pada saat itu takut pada saya? Atau jangan-jangan si Preman Homo? . Apa benar penampilan saya seperti Intel?

...Hey..Aku Bukan Intel...

Saya sangat beruntung karena tidak lama kemudian ban motor saya telah selesai diperbaiki. Lalu saya merogoh kocek untuk melunasi tagihan pembayaran. Setelah itu Helm saya pakai kembali seraya melanjutkan perjalanan.

Hikmah yang dapat saya ambil dari pengalaman ini bahwa tidak selalu preman itu berbuat jahat kepada orang lain dan belum tentu semua pria sangar itu adalah preman (Don’t judge a book by it’s cover). Meskipun kita tidak boleh menilai orang dari tampilan luar namun kita harus tetap menjaga kewaspadaan dimana pun kita berada. Seperti pesan Bang Napi bahwa kejahatan tidak hanya timbul dari niat si pelaku melainkan juga dikarenakan adanya kesempatan.

Saya tetap positive thinking atas apa yang dilakukan si pemuda sangar dan  terus bersyukur bahwa kejadian buruk tidak menimpa saya.

~Sekian~